MALAS KKN - MALAS MENELITI: FENOMENAPOST-TRUTH DAN PRAGMATISME MAHASISWA “ZAMAN NOW

 

Abd. Hamid

(Ketua Bidang Eksternal HIMAGRO Faperta Unhas 2024-2025)

 

 

Selama kurang lebih satu tahun terakhir tengah ramai perbincangan di berbagai platform media sosial mengenai dunia pendidikan di Indonesia, spesifik pendidikan tinggiIsu-isu yang beredar relatif beragam. Ada yang mempermasalahkan terkait pelemahan kapasitas kritisisme mahasiswa, ada yang menyorot politisasi pendidikan tinggi, dan ada pula narasi tentang kapitalisasi kampus. Berbagai topik perbincangan tersebut setidaknya ditengarai bermula saat pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) mengeluarkan pernyataan yang dinilai kontroversial yakni bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier. Seperti biasanya, pernyataan-pernyataan yang kontroversial dari pemerintah tentu saja menuai berbagai macam respon masyarakat, terlebih lagi jika menyangkut sektor pendidikan.

Terlepas dari kontroversi “pendidikan tersier” tersebut, pernyataan ini setidaknya membuat publik melek kembali betapa dunia pendidikan saat ini sedemikian perlunya, bahkan sampai masyarakat awam yang tak pernah berkuliah pun cukup responsif dalam menanggapi pernyataan seperti itu. Responsifitas masyarakat terhadap pendidikan tinggi bukanlah tanpa alasan. Diketahui bahwa zaman sekarang ketersediaan lapangan pekerjaan relatif sempit dan dengan persaingan yang ketat serta standar kebutuhan industri yang terus meningkat. Di sisi lain, syarat lulusan S1 untuk lowongan pekerjaan di Indonesia seolah-olah sudah menjadi keharusan. Hal tersebut tentu kontradiktif dengan pernyataan bahwa kuliah hanyalah pendidikan tersier.

Kendati demikian, apabila ditinjau lebih lanjut ternyata pernyataan bahwa pendidikan tinggi adalah pendidikan tersier tidak sepenuhnya patut disalahkan. Pertamapernyataan bahwa pendidikan tinggi tergolong ke dalam pendidikan tersier tidak serta merta menjadi alasan bahwa berkuliah itu tidak penting atau bukanlah suatu keharusan. Kedua, arti kata “tersier” di sini tidaklah sama dengan “kebutuhan tersier”namun ”tertiary education” digunakan sebagai istilah untuk selain pendidikan wajib menurut UU No. 20 Tahun 2003. Ketiga, ambiguitas pemahaman di kalangan masyarakat awam mengenai pernyataan ini, sedikit banyaknya terpengaruh oleh penggiringan narasi dampak dari polarisasi politik di Indonesia, sehingga sebagian besar masyarakat cenderung responsif bukan dengan basis argumen, melainkan karena sentimen politik.

Meskipun ketiga alasan di atas sudah cukup sebagai konter narasi, perlu dipahami bahwa memang pendidikan tinggi di Indonesia penuh dengan disrupsi pragmatis nyaris dalam semua aspek. Dr. Muhammad Faisal dalam bukunya “Pasar dan Karier Kembali ke Akar: Rekonstruksi Pasar dan Dunia Kerja di Tangan Generasi Muda” menjelaskan bahwa paradigma berkuliah oleh generasi muda zaman sekarang memiliki perbedaan mendasar dalam hal prinsip dengan paradigma anak muda tahun 1980-an misalnya. Sebagai contoh, kuliah zaman dulu dinggap sebagai keperluan dalam menunjang pekerjaan atau profesi yang dijalani atau diinginkan. Sedangkan zaman sekarang, dengan obesitas informasi yang diperoleh dari platform digital, beberapa kalangan justru menganggap bahwa kuliah adalah pelarian untuk mengisi kekosongan pasca lulus dari bangku SMA sembari mengejar cita-cita. 

Secara garis besar, tak ada yang salah dari kedua paradigma di atas. Namun, paradigma berkuliah zaman sekarang setidaknya mencerminkan bahwa hubungan antara berkuliah dan dunia kerja seolah seperti hubungan antara pabrik dan produk, yang dalam hal ini universitas sebagai pabrik dan tenaga kerja sebagai produknya. Hubungan pragmatis ini secara eksplisit mengindikasikan keterbelakangan pendidikan tinggi di Indonesia karena instansi perguruan tinggi yang harusnya mencetak para inovator peradaban justru menghasilkan budaya yang stagnan dan cenderung mengekor dengan standar negara lain. Alhasil, mahasiswa zaman sekarang terdorong oleh keinginan cepat lulus agar cepat mendapat pekerjaan, meskipun kenyataan dunia kerja tidak semudah itu.

Motivasi semu inilah yang di kemudian hari membuat dunia pendidikan tinggi dianggap sebagai ajang gaya hidup belaka atau sekadar mengikuti stereotipe anak muda dan bukan ruang untuk membenahi masyarakat dan membangun peradaban. Fenomena ini dapat diamati dari kecenderungan mahasiswa zaman sekarang untuk lulus cepat bahkan apabila memungkinkan tanpa harus mengikuti program KKN (Kuliah Kerja Nyata) dan program penelitian sekalipun. Hal tersebut juga disokong dengan adanya kebijakan di beberapa kampus yang meniadakan syarat KKN dan skripsi bagi mahasiswa yang dinilai berprestasi. Padahal program KKN dan penelitian adalah pilar substantif yang mencerminkan Tri Dharma Perguruan Tinggi di Indonesia.

Dr. Muhammad Faisal juga menyebutkan bahwa narasi kuliah sebagai gaya hidup berkembang sejak digitalisasi memuncak pada tahun 2010-an yang ditandai dengan banyaknya produk digital dan percepatan digitalisasi melalui internet. Sebagai dampak dari modernisasi, dunia digital yang semakin berkembang memicu obesitas informasi yang sulit disaring antara informasi yang diperlukan dan yang tidak diperlukan. Pada akhirnya, gaya hidup yang dianut anak muda zaman sekarang sedikit banyaknya terbentuk dari algoritma media sosial yang belum tentu linear dan realistis. Konstruksi media sosial bisa jadi membawa dampak positif bagi gaya hidup berkuliah, namun justru bisa jadi juga berdampak destruktif dan membawa mahasiswa dalam kejumudan berinovasi. 

Jean Baudrillard (1929-2007), seorang filsuf Prancis yang sekaligus pakar kebudayaan dan pengamat politik telah memprediksi fenomena “gaya hidup” ini jauh-jauh hari. Tentu jauh lebih lama sebelum adanya pernyataan pendidikan tersier. Dalam bukunya “Simulacra and Simulation”, Baudrillard mengamati bahwa telah banyak sekali fenomena absurditas dalam memandang realita terutama sejak era modernisme. Baudrillard menganggap bahwa kebenaran di era sekarang tidak lagi dipandang sebagai suatu hal yang objektif namun tak lebih adalah kontruksi sosial yang sifatnya inter-subjektif. Kebenaran sesuatu tak ubahnya hanyalah suatu hal yang relatif dan tak berlaku bagi semua orang. Dalam pandangan Baudrillard hal ini menimbulkan efek hiperrealitas masyarakat modern.

Apabila dikaitkan dengan konteks pendidikan tinggi zaman sekarang, terutama di Indonesia, motivasi untuk cepat lulus disinyalir sebagai contoh nyata dari absurditas realita yang dimaksud oleh Baudrillard. Terlebih lagi apabila KKN dan penelitian tidak lagi dianggap sebagai syarat untuk dikatakan sah sebagai seorang sarjana. Kurikulum pendidikan tinggi memang seharusnya mampu menjawab tantangan industri, namun tidak sepantasnya juga mahasiswa dicetak sebagai tenaga kejra belaka. Perguruan tinggi harus menjadi episentrum peradaban yang memprediksi hal-hal yang akan terjadi ke depannya, sehingga luaran yang dihasilkan bukan hanya mahasiswa yang kompeten di industri namun juga mahasiswa yang inovatif dan inklusif serta yang terpenting tidak bermental pekerja seperti yang ditanamkan di era kolonialisme.

Benang merahnya ada pada cara pandang dunia mahasiswa zaman sekarang yang menganggap bahwa berkuliah hanyalah sebatas gaya hidup untuk memperoleh ijazah yang tujuan akhirnya ditaruh di meja HRD (Human Resource Development) suatu perusahaan. Pertanyaannya adalah siapkah kita mempertanggung jawabkan gelar sarjana kelak hanya dengan ijazah tanpa basis keilmuan yang memadai? Ataukah jangan-jangan kita sendirilah yang menjadi cetakan pabrik tenaga kerja itu saat ini? Tanpa adanya pergerakan, rekonstruksi paradigma hanyalah bayang-bayang.

 

Bravo..HIMAGRO..Jayalah! 

 

REFERENSI:

Anggie, M.P.S. (2024). Kemendikbud: Kuliah itu Pendidikan Tersier. OSC Medcom. Diperoleh melalui https://osc.medcom.id/community/kemendikbud-kuliah-itu-pendidikan-tersier-6727.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation. University of Michigan Press.

Faisal, M. (2022). Pasar dan Karier Kembali ke Akar: Rekonstruksi Pasar dan Dunia Kerja di Tangan Generasi Muda. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Kusuma, K.A. (2024). Pendidikan Tinggi Masih Dianggap Kebutuhan Tersier di Indonesia? KompasianaDiperoleh melalui https://www.kompasiana.com/umsidamenyapa1912/664f633c34777c1e68448876/pendidikan-tinggi-masih-dianggap-kebutuhan-tersier-di-indonesia?page=4&page_images=1.



You may also like

  MALAS KKN -  MALAS MENELITI:  FENOMENA POST-TR UTH   DAN PRAGMATISME  MAHASISWA “ ZAMAN NOW ”   Abd. Hamid (Ketua Bidang Eksternal HIMAGRO...

Tidak ada komentar: